BAPA YANG PENUH KASIH
Luk.15:11-24
Tidak salah apabila dikatakan, pasal ini adalah salah satu dari sekian ceritera yang paling menarik dan mengesankan di dalam Alkitab. Sama seperti Alkitab berbahasa Indonesia, hampir semua terjemahan menyaksikan ceritera ini di bawah judul: Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Dalam Bibel bahasa Batak Toba disebut: Umpama taringot tu Anak na Mago. Ada terjemahan yang membuat judul: Anak Boros. Semuanya itu kurang tepat. Tidak satupun di antara kedua anak bapa yang dibicarakan dalam pasal ini yang pantas dijadikan tokoh atau panutan. Kedua anak itu sama-sama hilang; yang sulung hilang di dalam, yang bungsu hilang di luar. Yang pantas dijadikan tokoh hanyalah si Bapa yang mengasihi kedua anaknya. Sebab itu, dalam rangka khotbah ini, kita ingin membicarakan perumpamaan ini di bawah judul: Bapa yang Penuh Kasih. Bapa itu merupakan gambaran bagi Allah, Bapa yang penuh kasih dan rahmat bagi segenap manusia, termasuk kita. Bagaimanakah Tuhan mengasihi kita, dan bagaimanakah kita menanggapi kasihNya itu? Hal itulah antara lain yang ingin kita bicarakan dalam khotbah ini.
Saudara-saudara!
Sebagaimana kita dengarkan tadi, pasal ini berbicara tentang seorang bapa beranak dua. Kemudian dari itu, si Anak Bungsu datang meminta bagian dari harta ayahnya yang menjadi haknya. Lalu ayahnyapun membagi-bagikan harta kekayaannya di antara kedua anaknya. Tidak dijelaskan apa yang mendorong si Anak Bungsu meminta bagiannya pada waktu itu. Sama seperti itu, pertimbangan apa yang mendorong si Bapa meluluskan permohonannya itu, juga tidak dijelaskan. Memang, dalam hukum pewarisan di Israel, hal itu lumrah: Warisan boleh dibagi ketika orangtua masih hidup. Demikianlah di sini, sesuai dengan permohonannya, si Anak Bungsu diberi sepertiga dari jumah hartanya yang bergerak. Begitu aturannya di Israel, jika seorangtua beranak dua, warisannya dibagi tiga; dua bagi yang sulung, satu bagi yang bungsu; jika anaknya tiga, hartanya dibagi empat, dua tetap bagi yang sulung dan yang lain masing-masing satu. Demikian seterusnya.
Saudara-saudara!
Setelah itu, si Anak Bungsu menjual semua bagiannya lalu pergi ke negeri yang jauh. Dapat dipastikan, ia pergi ke luar negeri Israel, ke negeri orang kafir. Hal itu jelas dari ay.15. Di situ dibicarakan peternakan babi. Bagi orang Israel, babi adalah binatang haram yang tidak boleh dimakan dan dijadikan korban kepada Tuhan. Sebab itu dapat dipastikan, di seluruh tanah Israel tidak ada peternakan babi. Di situ, di negeri kafir itu iapun menghambur-hamburkan uangnya bersama-sama perempuan-perempuan jahat, sehingga ia jatuh miskin dan melarat, lalu seperti sudah disinggung di muka, ia harus bekerja di peternakan babi. Ketika itulah ia sadar dan ingin kembali kepada bapanya. Tetapi, bukan lagi sebagai anak yang berhak atas rumah dan harta bapanya, melainkan sebagai seorang upahan. Di kalangan Israel, seorang upahan dianggap lebih rendah dari seorang budak atau hamba. Budak masih dianggap sebagai bagian dari rumah tangga, orang upahan tidak. Begitupun, bagi dia tidak lagi merupakan masalah; asal ia diterima dan dapat makan, cukuplah. Namun di luar dugaannya, bapanya menerimanya kembali. Selaku anak, bukan hamba atau orang upahan. Bapanya bukan tidak tahu akan kejahatannya, bukan tidak sadar akan banyaknya harta yang ia habiskan. Namun kasih dan sayangnya kepada anaknya jauh melampaui semua itu. Masih sejak anaknya pergi, ia sudah berharap dan ternanti-nanti akan kepulangannya, dan saat harapannya itu terwujud, ia menyongsong dan memeluk serta menciumnya. Iapun diberi jubah sebagai perlambang kehormatan, cincin dipasangkan ke jarinya sebagai perlambang hak dan kekuasaan, dan sepatu dipasangkan ke kakinya sebagai perlambang keanakan, lalu disambut dengan sebuah pesta kesukaan.
Sidang jemaat Kritus yang dikasihi Allah!
Sebagai perumpamaan, bagian-bagian tertentu dari pasal ini mempunyai pengenaannya masing-masing. Telah dikatakan di muka, bapa yang penuh kasih itu adalah gambaran bagi Allah, Bapa yang sungguh mengasihi segenap manusia. Selanjutnya, sekarang kita katakan, anak bungsu itu adalah perlambang bagi orang-orang tersingkir atau termarjinalkan, seperti:
1. Orang-orang berdosa. Sebutan ini digunakan oleh kaum Farisi dan Ahli Taurat bagi orang banyak, seperti orang miskin, buta, lumpuh, pincang, kusta, lapar, sengsara, perempuan jahat, yang terpenjara, yang bebannya berat, atau rakyat jembel. Mereka disebut awam, artinya bodoh. Disebut bodoh, karena mereka tidak paham akan hukum; dan karena tidak paham, sering mengabaikan atau melanggarnya. Dalam hubungan itulah mereka dinamai ‘orang-orang berdosa,’ karena sesungguhnya dosa itu adalah pelanggaran; pelanggaran terhadap hukum Tuhan.
2. Pemungut cukai. Oleh kaum Farisi dan Ahli Taruat, pemungut cukai dianggap penghianat. Penghianat bangsa, karena mereka bekerjasama dengan penjajah atau musuh nasional Yahudi, yaitu bangsa Romawi. Bukan itu saja, mereka dianggap juga penghianat terhadap kedaulatan Allah. Sebagaimana kita tahu, pandangan bangsa Israel tentang pemerintahan adalah teokratis. Tuhanlah Raja Israel. Konsekuensinya, penghianat bangsa adalah sekaligus penghianat terhadap Allah, anti Tuhan.
3. Orang kafir. Orang Yahudi umumnya, kaum Farisi dan Ahli Taurat khususnya sangat benci bahkan jijik terhadap orang yang bukan Yahudi. Karena bencinya, orang Yahudi kadang-kadang menyebut orang kafir ‘anjing’ atau ‘anak setan.’ Seorang Yahudi tidak boleh masuk ke rumah orang kafir, tidak boleh meminta sesuatu dari mereka, dan tidak boleh menjalin hubungan kekeluargaan dengan yang bukan Yahudi.
Namun ajaib dan mengherankan sekali, justru dari kalangan yang tersingkir dan termarjinalkan inilah yang lebih banyak disambut dan diterima Allah di dalam AnakNya, Yesus Kristus. Dia tahu betul mereka itu orang berdosa, tahu betul betapa banyaknya harta yang mereka hamburkan untuk hal-hal yang tidak pantas dan tidak berkenan kepadaNya, untuk berfoya-foya melampiaskan hawa nafsunya, dan sebahagian untuk memuja setan. Namun sekali lagi, luar biasa ajaibnya, kasih Allah melampaui semuanya itu. Dalam kasihNya yang tiada terhingga, ia manyambut dan menerima orang-orang berdosa. Yesus mau masuk ke rumah pemungut cukai, dan makan bersama dengan mereka. Ia mengutus murid-muridNya menjadikan semua bangsa muridNya, serta membaptiskannya di dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Semuanya diangkat menjadi anak-anak Allah, dijadikan pewaris di dalam kerajaanNya.
Saudara-saudara!
Itulah Berita Kesukaan khotbah Minggu ini bagi kita: Allah yang Mahakasih dan penuh dengan karunia itu menerima kita, menghapus dosa-dosa kita, mengampuni kita, menyambut dan mengembalikan kita ke dalam persekutuanNya, serta mangaruniai kita dengan hak keanakan. Hal itu sudah Ia kerjakan bagi kita di dalam dan melalui Pekabaran Injil yang dimulai pada 7 Oktober 1861 sebagaimana kita ingat dan kita rayakan pada Jubileum 150 Tahun HKBP yang puncaknya pada bulan ini. Sebelum kedatangan Injil, seperti anak yang hilang, bangsa kita berada di dalam kegelapan. Mereka terasing dan terisolasi secara ketat, hidup miskin dan serba kekurangan, dalam kebodohan dan keterbelakangan. Peperangan antar kampung sering terjadi; demikian juga penculikan demi perlindungan dan keselamatan kampung melalui suatu lembaga magis yang disebut pangulubalang. Perbudakan juga marak, sebagian di antaranya diperjualbelikan sebagai barang dagangan. Tetapi dengan datangnya Injil, secara lambat laun namun pasti, semuanya berubah. Tanah dan bangsa Batak menjadi terang. Bukan hanya di bidang rohani, melainkan juga di bidang jasmani, sebab para pemberita Injil bukan memberitakan Injil saja, melainkan juga memperkenalkan unsur-unsur kebudayaan barat yang maju kepada bangsa kita, seperti sistem pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan lain sebagainya. Orang-orang Batakpun diterima menjadi anak-anak Allah, menjadi pewaris di dalam kerajaanNya. Semuanya itu Tuhan lanjutkan hingga sekarang, hingga kita yang hidup kini dan di sini. Lalu sekarang, bagaimanakah kita menanggapi semua itu?
Saudara-saudara!
Ayat 19 firman Tuhan atau Epistel minggu ini yang sudah kita bacakan besama-sama tadi mengatakan, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Bibel Toba lebih tegas mangatakan, “Marroha holong ma hita, ala Ibana jumolo manghaholongi hita!” Ya, karena Allah sudah mengasihi kita, kita juga harus mengasihiNya di dalam dan melalui kasih balasan yang berkenan kepadaNya. Bagaimanakah itu kita lakukan? Ayat-ayat berikutnya berkata, “Jikalau seorang berkata, ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin ia mengasihi Allah yang tidak dilihatnya. Dan perintah yang kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus mengasihi saudaranya.” Dari itu jelas, kita mengasihi Allah di dalam dan melalui pengasihan terhadap sesama manusia. Hal inilah yang perlu kita pergumulkan, bagaimanakah kita sebagai jemaat maupun pribadi mengasihi saudara-saudara kita yang miskin di Jakarta ini maupun di tempat-tempat lainnya, di bona pasogit misalnya? Sehubungan dengan itu saya ingin menghadirkan kembali apa yang pernah saya suarakan dari mimbar ini pada tahun yang lalu. Mengambil teladan dari para pekabar Injil yang bekerja di tanah Batak dahulu, apakah yang kita lakukan untuk memajukan bona pasogit? Perlu kita sadari, kualitas pendidikan di Tapanuli termasuk terendah di Indonnesia. Kendati ada universitasnya, Unita di Silangit misalnya, kualitasnya belum bisa diandalkan. Sebab itu, untuk mengambil D3 hingga S1 saja, orang harus keluar dari Tapanuli. Hal itu berarti dana harus keluar dari Tapanuli pukul rata sejuta seorang perbulan. Berarti, hingga S1 yang rata-rata 4-5 tahun, dana yang dibutuhkan sekitar 48-60 juta seorang. Setelah menjadi sarjana, berapa orangkah yang mau kembali dan berbakti untuk Tapanuli? Jangankan kembali, berpikir dan berbuat untuk Tapanulipun barangkali dapat dihitung dengan jari. Paling sial lagi, kita hanya mengirimkan mayat ke bona pasogit. Nahum Situmorang betul-betul jeli melihat perilaku halak hita di parserahan sehingga di dalam lagunya ia berkata, “Molo marujung ma muse ngolungku sarihon ma, anggo bangkengku disi tanomonmu, disi udeanhu sarihon ma.” Dia memang tidak mengatakan, “Anggo ngolungku di parserahan ma, ” namun faktanya adalah begitu, sebagian terbesar halak hita, hidupnya untuk Jakarta, untuk Bandung, untuk Surabaya, dan lain sebagainya, alai anggo bangkena tu Samosir ma, tu Toba, tu Humbang, tu Silindung. Semua itu, keingingan halak hita yang terkenal tinggi dalam mencapai ilmu dan pengetahuan, dan kebiasaan mengirim mayat ke bona pasogit punya andil besar dalam proses pemiskinan Tapanuli. Sebagai orang-orang yang telah diterima menjadi anak-anak Allah, mari berubah, mari berpikir dan berbuat untuk bona pasogit. Mungkinkah itu dapat kita harapkan sebgai buah dari Jubileum 150 Tahun HKBP? Amin.