KHOTBAH MINGGU 6 TRINITATIS, 15 JULI 2012
Am.7:7-15
Ada tiga lembaga atau institusi terpenting dalam kehidupan umat Israel selaku bangsa pilihan Tuhan, yakni:
1. Raja, yang berfungsi selaku tangan kanan Allah menjalankan kemauan Tuhan di tengah-tengah umatNya.
2. Imam, yang berfungsi sebagai perantara dari fihak manusia terhadap Allah dan bertugas melayankan kebaktian atau peribadahan dengan segenap unsur-unsurnya, seperti syafaat, persembahan korban, dan sebagainya.
3. Nabi, yang berfungsi sebagai perantara dari fihak Allah terhadap manusia dan bertugas membawakan firman dan kehendak Tuhan yang bebas dan berwibawa kepada orang-orang sezamannya.
Yang rutin adalah raja dan imam, sedang nabi muncul sewaktu-waktu saja. Ketika raja atau nabi atau kedua-duanya tidak berfungsi lagi sebagaimana layaknya, ketika raja tidak bersikap lagi sebagai raja, dan imam tidak berlaku lagi sebagai imam, pada waktu itulah Tuhan memunculkan seorang nabi untuk menyampaikan firman dan kehendakNya, ancaman hukuman ataupun janji-janjiNya. Kadang-kadang nabi dipanggil dari kalangan imam, seperti Yehezkiel, namun lebih sering dari kaum awam. Amos misalnya, nabi yang menubuatkan pasal bacaan kita hari ini, adalah seorang warga biasa. Kita dengarkan tadi, dalam ay. 14-15 ia katakan, “Aku ini bukan nabi, dan aku ini tidak termasuk golongan nabi, melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan. Tetapi Tuhan mengambil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba.”
Oleh Tuhan, Amos orang Tekoa dipanggil dan diutus ke kerajaan Israel Utara pada masa pemerintahan Raja Yerobeam-II. Dari sudut pandang politik dan ekonomi, Yerobeam-II adalah seorang yang sukses. Ia berhasil mempertahankan eksistensi dan wilayah kekuasaan Israel terhadap kerajaan-kerajaan sekitar serta memajukan perdagangan luar negeri, sehingga tercapai kemakmuran pada lapisan masyarakat atas Israel. Sebagai wujud pengucapan syukur dan terimakasihnya kepada Tuhan, pihak kerajaan dan golongan atas sangat menyokong kegiatan-kegiatan keagamaan. Pesta-pesta keagamaan dilaksanakan dengan seksama dan sangat meriah, korban-korban bakaran dan sembelihan dipersembahkan di bawah pimpinan para imam. Namun di pihak lain, mereka tidak peduli dengan keadilan sosial. Sebagai contoh, pedagang-pedagang kaya dengan sengaja memborong gandum pada masa panen untuk dijual pada masa paceklik. Mereka membelinya dengan batu timbangan yang lebih berat, sehingga memperoleh lebih banyak gandum, tetapi membayar sedikit. Ketika saatnya tiba, gandum itupun dijual setelah dicampur dengan gandum hampa (lapung) atau abu tanah, menggunakan batu timbangan yang lebih ringan dan dengan harga yang lebih tinggi; sehingga dengan menjual sedikit, mereka memperoleh uang yang lebih banyak. Orang-orang kaya menjadi raja-raja tega yang sampai hati menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut atau sandal sementara kerajaan bersikap masa bodoh dan melakukan pembiaran.
Ketika itulah Tuhan mengutus Amos untuk memperdengarkan keputusanNya atas bangsa itu. Sebagai seorang pengawas bangunan yang mengukur tembok dengan tali sipat untuk memastikan apakah sebuah tembok masih berdiri tegak lurus, demikianlah Tuhan mengukur bangsa Israel untuk memastikan apakah mereka masih memenuhi syarat sebagai umat pilihanNya. Tali sipat yang Ia gunakan adalah kebenaran dan keadilanNya. Dan hasilnya, laksana sebuah tembok, mereka sudah rusak, sudah berdiri miring dan membahayakan, sehingga harus diruntuhkan. “Sesungguhnya,” demikian Amos menubuatkan keputusan Tuhan, “Aku akan menaruh tali sipat di tengah-tengah umatKu Israel; Aku tidak akan memaafkannya lagi.”
Konkritisasi dari hukuman itu adalah penghancuran agama dan dinasti Israel. Dapat dikatakan, kedua hal itulah yang merupakan sogo guru kehidupan Israel, yang menjadi kebanggaan dan andalan mereka pada masa itu. Mereka bangga dan merasa aman di hadapan Tuhan karena ibadah dan kegiatan keagamaan berlangsung dengan baik, sehingga Tuhan tidak mungkin menghukum mereka. Bukankah Tuhan suka akan korban bakaran dan korban sembelihan yang mereka persembahkan? Mereka bangga dan merasa aman di hadapan bangsa-bangsa karena dinasti atau kerajaan menjamin stabilitas politik, keamanan dan perdagangan, sehingga tidak ada yang harus dikuatirkan. Tetapi Tuhan tidak dapat dikelabui dengan kegiatan-kegiatan keagamaan atau pesta-pesta kerohanian yang meriah, tidak dapat disogok dengan korban-korban bakaran atau korban sembelihan yang melimpah. “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari padaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar.” (5:21-23) Menurut Amos, justru kedua hal itulah yang akan Tuhan hancurkan. Pusat-pusat pengorbanan yang sejak zaman dahulu mereka tempatkan di bukit-bukit, demikian juga tempat-tempat kudus, yakni tempat-tempat yang punya sejarah khusus dalam rangka penyataan Tuhan di tengah-tengah Israel seperti Betel dan Berseba akan dibinasakan, dinasti Yerobeam akan dihancurkan dan bangsa Israel akan dibuang.
Sebagai warga Kristen dan gereja maupun selaku warga negara bangsa Indonesia, kita perlu belajar banyak dari nubuatan Amos ini. Kita boleh bangga sebagai negara yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara di mana ketuhanan adalah silanya yang pertama. Kita boleh membusungkan dada sebagai masyarakat yang religius. Pembangunan keagamaan diperhatikan betul, hari-hari besar keagamaan dirayakan dengan hikmad dan meriah; bukan saja oleh umat, melainkan juga oleh negara, sehingga – barangkali – Indonesialah negara yang hari liburnya paling banyak di seluruh jagat. Salam keagamaan diperdengarkan setiap saat, dalam pergaulan umum, rapat-rapat resmi dan upacara-upacara kenegaraan. Negara menyediakan dana yang melimpah untuk pembangunan rumah-rumah ibadah, pengadaan kitab suci dan pelaksanaan rukun agama. Sungguh, Indonesia adalah negara yang sangat religius. Tetapi di lain sisi, kita seharusnya malu karena negara kita termasuk yang terkorup di seluruh dunia, kita seharusnya malu apabila sekarang ini negara kita berada di bawah sorotan Komisi HAM PBB karena perlakuan tidak adil terhadap golongan minoritas, kita seharusnya malu apabila hukum di negara kita sangat tajam ke bawah tetapi sangat tumpul ke atas, kita seharusnya malu apabila pemerintah cenderung membiarkan, bahkan terkesan memfasilitasi kekerasan atas nama agama dan memberikan ruang yang seluas-luasnya terhadap intoleransi, kita seharusnya malu apabila jurang di antara si Miskin dan si Kaya semakin hari semakin dalam dan semakin menganga. Bukan karena ketiadaan sumber daya dan dana, melainkan karena ketidakadilan dan kerakusan. Mengingat itu semua, sungguh, ancaman hukuman Tuhan yang disampaikan melalui Amos berlaku juga bagi kita. Jangan salah, hukuman Tuhan tidak selamanya dijalankan dalam bentuknya yang paling dahsyat dan luar biasa seperti air bah pada zaman Nuh atau hujan belerang pada zaman Lot, akan tetapi lebih sering dalam bentuknya yang biasa, seperti akibat logis dari suatu tindakan atau kelalaian. Jika Israel pada masa Amos diancam dengan kehancuran agama dan negara, barangkali kita tidak perlu membayangkan ancaman kehancuran tempat-tempat ibadah seperti mesjid-mesjid ataupun gereja-gereja pada bangsa kita, demikian juga kehancuran pemerintah dan negara sehingga kita menjadi jajahan bangsa lain, tetapi hukuman itu boleh berlangsung dalam konteks-konteks lain. Pada pertengahan bulan yang lalu misalnya, laporan suatu komisi PBB yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang ini berada pada tingkat danger menuju negara gagal sangat banyak dibicarakan dan dikuatirkan orang. Apabila kelak kekuatiran itu betul-betul menjadi kenyataan, Indonesia menjadi negara gagal, penyebabnya tidak perlu dicari jauh-jauh, melainkan pada kesalahan kita sendiri, kesalahan negara, kesalahan pemerintah, kesalahan kita semua. Dan semuanya itu tidak terlepas dari tindakan penghakiman dan penghukuman Tuhan pada bangsa kita. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Kepada umat Israel, Amos berkata, “Carilah Tuhan, maka kamu akan hidup!” (2:6) Tuhan tidak hadir dalam keberagamaan yang semu, sehingga Ia tidak dapat dicari di dalam dan melalui keberagamaan yang penuh dengan kemunafikan dan kepura-puraan; Tuhan hanya mau hadir dan dapat dicari di dalam dan melalui keberagamaan yang dijalankan di dalam kebenaran dan keadilan; keberagamaan yang dihadirkan di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, saya kira kita orang Kristen tidak dapat membanggakan diri sebagai yang lebih baik dari pada yang lain. Apabila tadi kita sudah menyinggung korupsi, di antara orang-orang yang sudah divonis pengadilan Tipikor, terdapat juga orang-orang Kristen bahkan tergolong tokoh gereja. Orang sana memang lebih banyak. Tetapi itu karena populasinya memang lebih banyak, koruptornya juga lebih banyak; populasi kita sedikit, koruptor kita juga sedikit. Sebab itu kita juga terpanggil untuk bertobat, untuk mencari Tuhan dengan segenap hati, untuk beragama di dalam kebenaran dan keadilan.
Saudara-saudara!
Kembali ke pasal bacaan kita hari ini, menjadi seorang nabi tidak gampang. Kita dengarkan tadi, setelah menyampaikan nubuatnya, oleh Amazia, kepala imam di Betel, Amos dilaporkan kepada Raja Yerobeam. “Amos telah mengadakan persepakatan melawan tuanku, di tengah-tengah kaum Israel; negeri ini tidak dapat lagi menahan segala perkataannya,” demikian bunyi laporan itu. Tidak dilaporkan seruan Amos untuk menjalankan kebenaran dan keadilan, seruan yang seyogianya dihargai pemerintah sebagai sumbangan positif kepada pemulihan negara hukum; demikian juga tentang harapan Amos mengenai keselamatan Israel. Yang diutamakan hanyalah keamanan dan ketertiban, dan demi keamanan dan ketertiban, mulut Amos harus disumbat. Tanpa menunggu perintah raja, Amazia selaku penanggungjawab penuh tempat suci Betel langsung bertindak melarang Amos berkhotbah di situ, mempersona non gratakannya sehingga tidak boleh lagi tinggal dan bekerja di segenap wilayah kerajaan Israel Utara.
Kita orang Kristen, selaku pribadi maupun sebagai gereja adalah nabi-nabi Tuhan pada masa kini dan di sini yang terpanggil untuk memperdengarkan suara kenabian di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara. Sama seperti pengalaman Amos, hal itu tidak gampang. Suara kenabian yang disampaikan oleh orang-orang percaya, oleh gereja sebagai institusi maupun pribadi gampang saja disalahartikan oleh negara, oleh lembaga atau dinas resmi, oleh pejabat atas nama jabatan maupun atas nama pribadinya; suara kenabian sering dipandang sebagai pertanda ketidaksetiaan, sebagai upaya perlawanan bahkan suversi. Namun hal itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Suara kenabian hendaknya kita perdengarkan juga dalam doa dan syafaat kita. Saya selalu terkesan mendengar doa dan syafat yang kita sampaikan mengenai para pemimpin dan pemerintah kita. Kita lebih sering memohon agar mereka diberi kebijaksanaan saja, seakan-akan mereka semua adalah anak-anak manis yang kurang hikmat, pada hal – kalau mau jujur – banyak di antara mereka yang lebih layak disebut sebagai orang-orang pintar yang bebal. Presiden kita banyak salah, menteri juga banyak salah, demikian juga wakil-wakil kita di DPR, gubernur hingga lurah semuanya bersalah. Belakangan ini, sebulan dua kali diadakan kebaktian di depan istana yang dilayankan oleh saudara-saudara kita GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia. Maksudnya agar istana memperhatikan keadilan dan kebebasan di bidang keagamaan dan peribadahan. Namun hingga sekarang istana tetap bergeming. Pemerintah kita sangat bangga menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin sudah semakin berkurang, sekarang tinggal 29 juta orang lagi; tetapi pada masa sama menutup mata terhadap kenyataan seorang ibu sangat miskin harus bunuh diri di kali Cisadane sekitar dua minggu yang lalu dengan membawa seorang anaknya yang baru berusia tiga tahun. Bukankah itu kebebalan? Untuk itu kita perlu memohon agar dosa-dosa mereka diampuni Tuhan. Biarlah melalui doa dan syafaat kita mereka menyadari bahwa mereka adalah orang berdosa terhadap Tuhan, terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Ketahuilah, Tuhan tidak akan mengaruniakan hikmat dan kebijaksanaan kepada orang-orang yang belum diampuniNya.
Kiranya Tuhan menolong dan menguatkan kita untuk bersikap sebagai nabi-nabi pada zaman akhir. Amin.
7.12.2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar