10.01.2012

Khotbah Minggu 18 Trinitatis, 07.10.2012

KHOTBAH MINGGU 18 TRINITATIS, 07.10.2012

Ibr.2:5-12



“Apakah manusia itu?” Pertanyaan itu sudah lama diajukan dan dipergumulkan orang. Sehubungan dengan itu, Ernst Bloch, seorang filsuf berkebangsaan Jerman berkata, “Manusia belum mengetahui apakah dia itu, namun melalui alienasi dari dirinya sendiri, ia dapat mengetahui apa yang pasti bukan merupakan dirinya, dan karenanya ia tidak mau, atau sekurang-kurangnya seharusnya ia tidak mau tetap tinggal dalam kepalsuan.” Mengenai itu, Dr.M Sasteraprateja, seorang filsuf bangsa Indonesia berkata, “Kata-kata Ernst Bloch ini mengingatkan kita bahwa kita tidak memiliki defenisi praada tentang kemanusiaan kita. Kita tidak mempunya gambaran paripurna tentang manusia.”

Tidak berlebihan apabila saya katakan, pendapat kedua pakar filsafat itu rada asing bagi kita. Mengapa? Sebab berdasarkan firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, pengetahuan kita tentang manusia cukup jelas. Bagaimana manusia itu ada dan untuk apa ia ada, apa makna keberadaannya dan menjadi apa ia pada akhirnya, jawabannya dapat kita jumpai di seantero Alkitab, antara lain di dalam pasal bacaan kita minggu ini.

Menurut Alkitab, manusia itu diciptakan dari tanah. Oleh karena itu, di dalam Alkitab berbahasa Ibrani, manusia itu dinamai ‘adam’ yang berasal dari kata ‘haadamah’, artinya tanah atau debu. Kadang-kadang manusia itu dinamai juga ‘enosy’ artinya insan, suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan kelemahan dan kehinaan manusia itu. Namun demikian, ajaib sekali, kepada manusia itu, Tuhan mengaruniakan kuasa atas segala sesuatu. Dalam Kej.1:28 Tuhan Sang Pencipta itu berfirman, “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, dan segala binatang yang merayap di bumi.”

Itulah manusia, dia adalah ciptaan Tuhan. Manusia bukanlah makhluk yang terjadi secara kebetulan, bukan hasil dari suatu proses alamiah atau reaksi kimiawi, bukan perkembangan akhir dari suatu proses evolusi, melainkan ciptaan Tuhan. Manusia itu ada atas rencana Tuhan yang jelas. Dengan kata lain, sebelum ia diciptakan, rancangan atau defenisi praadanya sudah ada, sebagaimana diungkapkan di dalam Kej.1:26-27. Rancangan itu Tuhan wujudkan melalui suatu karya penciptaanNya yang agung. Sebagai ciptaan, di satu sisi manusia itu kecil dan lemah; hanyalah adam, tanah atau debu; hanya enosy, insan kecil dan hina. Namun di lain sisi, manusia itu adalah makhluk yang mulia, yang diberi kekuasaan atas segala sesuatu. Kenyataan itu sangat menakjupkan dan mengagumkan. Tuhan Allah, Pencipta segala sesuatu berkenan mengaruniakan kemuliaan dan hormat yang begitu besar kepada manusia yang sesungguhnya hanyalah segumpal tanah atau setitik debu? Dalam kekaguman dan ketakjubannya, Pemazmur 8 sampai mengartikan bahwa manusia itu diciptakan sedikit lebih rendah dari pada Tuhan sendiri. “Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu, segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya.” Oleh Penulis surat Ibra-ni, kesaksian Pemazmur itulah yang disadur dalam pasal bacaan kita Minggu ini sebagai yang sudah kita dengarkan tadi, dalam ay.6-8 dikatakan, “Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya, atau anak manusia sehingga Eng-kau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya untuk waktu yang singkat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat, segala sesuatu telah Engkau taklukkan di bawah kakinya.”

Bahkan yang lebih menakjupkan dan mengagumkan lagi, dalam ay.5 dikatakan, dunia yang akan datang juga Tuhan taklukkan kepada panusia. Dalam Alkitab, kita tidak pernah membaca adanya janji kekal Allah terhadap makhluk-makhluk lain, kepada ikan-ikan di laut, burung-burung di udara ataupun binatang-binatang yang merayap di atas bumi. Semuanya itu akan lenyap bersama-sama de-ngan bumi yang akan lenyap. Lain halnya dengan manusia, mereka dijanjikan akan mewarisi dunia yang akan datang, yaitu kehidupan yang kekal. Di situ orang-orang percaya bukan hanya sekedar pewaris, melainkan adalah sebagai penguasa yang akan memerintah bersama-sama dengan Kristus hingga kekal, selama-lamanya.

Akan tetapi ketika dosa masuk, manusia menjadi lain dari yang seharusnya; menjadi seperti produk yang gagal fungsi (malfunction). Dari makhluk yang diciptakan sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat bahkan hampir sama dengan Allah, manusia menjadi insan yang kerdil. Ganti penguasa atas segala sesuatu yang terpanggil bukan saja untuk memenuhi dan menaklukkan bumi serta menguasai segala sesuatu melainkan juga untuk memelihara dan melestarikan segala ciptaan, manusia menjadi penakluk yang menyeramkan, yang demi pemenuhan hasrat duniawi dan kerakusannya tega menguras sumber-sumber daya alam tanpa peduli akan datangnya kerusakan dan kehancuran. Manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang mulia, di dalam dan oleh dosa menjadi makhluk yang frustrasi karena keadaan, yang takluk akan godaan-godaan dan terbelenggu oleh kelemahannya sendiri. Manusia yang seharusnya bebas menjadi terikat, yang semestinya raja menjadi budak belian, dan yang seharusnya menjadi pengayom antar sesama menjadi homo homini lupus atau serigala terhadap sesamanya. Manusia yang ditentukan menjadi pewaris dan penguasa dunia yang akan datang, malah menjadi makluk yang tidak punya harapann dan masa depan. Sungguh, di dalam dan oleh dosa, manusia bukan lagi menjadi seperti yang seharusnya, tidak lagi menjadi seperti yang dimaksudkan. Akankah keadaan itu berlangsung terus, dan rencana asli Tuhan tentang manusia gagal total?

Tidak, sebab Kristus sudah datang ke dalam dunia untuk mengembalikan manusia ke kedudukan atau maksud penciptaannya semula, mengembalikan ke martabatnya sebagai makhluk yang diciptakan hampir sama seperti Allah, yang dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, yang dikaruniai kuasa atas segala sesuatu, dan yang akan mew-risi serta memerintah dunia yang akan datang. Ya, Kristus sudah datang unuk memulihkan atau memanusiakan manusia. Untuk itu Ia harus menjadi sama dengan manusia. Dalam ay.9 pasal bacaan hari ini dikatakan, “Dia, ... untuk waktu yang singkat dibuat lebih rendah dari pada malaikat-malaikat,” Oleh Paulus, hal itu lebih jelas digambarkan dalam Flp.2:7-11, katanya, “(Ia) telah mengosongkan diriNya sendiri dan dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, supaya di dalam nama Yesus bertekuk lutut segala nama yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku, ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa.” Ya, di dalam keadaanNya yang menjadi sama dengan manusia itu, Kristus menderita dan mati. Bukan untuk selamanya, karena tiga hari kemudian Ia bangkit dan masuk ke kemuliaan. Semuanya itu adalah untuk manusia: Ia menderita dan mati untuk manusia, dan bangkit juga untuk manusia supaya manusia menjadi seperti yang semula dimaksudkan. Ia menjadi ‘archegos’ atau pemimpin kepada keselamatan, yang merintis jalan dan membawa manusia kepada Allah.

Dengan perantaraan Roh Kudus yang bekerja melalui Injil, itulah yang Tuhan sudah lakukan bagi kita. Ia manusiakan kita kembali, Ia pulihkan ke kemanusiaan yang sesuai dengan maksud aslinya. Hal itulah yang harus kita ingat dan kita syukuri dalam rangka Hari Ulang Tahun 151 HKBP yang jatuhnya pada hari ini. Dari sejarah kita tahu, pada 7 Oktober 1861, empat orang penginjil mengadakan rapat di Sipirok untuk merumuskan pembagian pekerjaan penginjilan di Tanah Batak. Itulah permulaan pekerjaan penginjilan yang teratur rapi di Tanah Batak yang oleh perkenan Tuhan boleh berjalan dengan cepat dan berhasil baik. Menurut hemat kita, peristiwa itu sangat penting, dan itulah sebabnya, gereja kita menetapkannya sebagai hari lahir HKBP.

Hingga saat itu, sebagai bagian dari warga masyarakat manusia yang telah takluk di bawah kuasa dosa, bangsa Batak juga sudah kehilangan harkat kemanusiaannya sebagai dimaksudkan oleh Tuhan, dan itu sangat nyata mengemuka di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya yang lebih banyak diwarnai kecurigaan dan kebencian ketimbang kasih. Perang antar kampung sering terjadi. Semuanya itu memaksa orang untuk memperlengkapi diri dengan alat-alat pertahanan dan penyerangan yang bersifat fisik ataupun magis seperti gadam, rasun, alaula, pangulubalang dan lain sebagainya. Nenek moyang kita hidup dalam kegelapan, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan ketertutupan yang relatif ketat. Tetapi dengan datangnya Injil dan gereja Tuhan didasarkan di Tanah Batak, bangsa kita dimanusiakan kembali. Bukan saja secara rohani, melainkan juga secara jasmani, sebab para pekabar Injil juga membawa dan memperkenalkan unsur-unsur kebudayaan Barat yang maju kepada bangsa kita, seperti sistem persekolahan dan pelayanan kesehatan, sehingga lambat laun bangsa kita boleh keluar dari kegelapan, dari ketertutupan dan ketertinggalan serta melangkah ke kehidupan yang lebih manusiawi, yang lebih beradab dan bermartabat: Kehidupan dalam Kristus.

Semuanya itu tidak cukup kita syukuri, melainkan harus kita hayati dan kita amalkan. Sebagai orang-orang yang sudah dimanusiakan, jangan lagi berkubang di dalam kepalsuan, melainkan hidup serta bersikap dan berperilakulah sebagai manusia, dalam kekudusan, kebenaran dan pengasihan. Di samping itu, kita harus turut di dalam upaya-upaya pemanusiaan manusia. Perlu kita sadari, tugas pemanusiaan oleh Injil melalui gereja atau orang-orang percaya belum lagi selesai. Bahkan selama matahari bersinar, tugas itu harus terus berlangsung. Dosa terus bekerja, sehingga selalu ada orang yang kehilangan martabat kemanusiaannya sebagai yang Tuhan maksudkan. Hal itu boleh terjadi oleh berbagai sebab, seperti kebodohan, penyakit atau kemiskinan. Sebagai gereja atau orang-orang beriman kita terus terpanggil untuk memanusiakan orang-orang seperti itu. Sehubungan dengan itu, Sinode Godang HKBP yang diselenggarakan di Seminarium Sipoholon pada tanggal 10-16 September 2012 yang lalu, dalam rangka memetakan kembali missi HKBP untuk beberapa tahun ke depan telah merumuskan satu program yang berbunyi, “Memulihkan harkat dan martabat orang kecil dan tersisih melalui pendidikan, pelayanan kesehatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat serta membangun dan mengembangkan kerjasama antar gereja dan dialog antar agama.” Kiranya kita juga turut tergerak untuk ambil bagian dalam pelaksanaan missi tersebut. Amin.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar